Jumat, 09 Desember 2011

Hutan ? Penting gak sih?


Melihat efek perubahan iklim global (Global Climate Change) yang terjadi saat ini menggugah para aktivis untuk unjuk gigi. Terutama para aktivis lingkungan di Indonesia karena Indonesia dianggap sebagai paru-paru dunia dengan hutan alamnya yang masih bagus. Perubahan iklim global ini merupakan salah satu akibat penggunaan jasa lingkungan di atas ambang batas kemampuan lingkungan itu sendiri untuk menopang kegiatan manusia yang semakin merusak. Salah satu contoh ya hutan. Perambahan hutan sebenarnya sudah dilakukan manusia Indonesia sejak merdeka, 17 Agustus 1945. Tapi pada saat itu manusia nya tidak sebanyak sekarang dan timber stock dari hutan alam Indonesia masih cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia waktu itu. Seiring bertambahnya waktu, manusia serta kebutuhan akan kayu semakin bertambah. Hutan menjadi sasarannya. Hal itu memacu banyaknya perusahaan hutan (HPH) membuka lahan mereka di hutan alam. Sampai kini, hutan Indonesia semakin berkurang luasannya, bahkan diperkirakan laju berkurangnya luas hutan alam Indonesia 10x luas lapangan sepak bola setiap jamnya. Latar belakang itulah yang dijadikan dasar oleh para aktivis lingkungan untuk berkoar-koar.
Usaha pemerintah sampai dengan LSM untuk menggalakkan reboisasi / penghijauan sebenarnya sudah cukup banyak. Mulai dari program “One Man One Tree” sampai “Satu Milyar Pohon”. Kegiatan yang dilakukan oleh LSM terkait juga tidak kalah gencar. Tidak lain tujuannya ialah untuk usaha mengurangi karbon (Ce) penyebab Gas Rumah Kaca (GRK) yang banyak di atmosfer kita. Namun kegiatan-kegiatan tersebut nampaknya belum berhasil 100%. Setelah dilakukan kroscek di lapangan, ternyata bibit pohon yang telah ditanam sudah tidak ada lagi. Diperkirakan bibit yang ditanam mati akibat minimnya monitoring dari Even Organizer (EO) yang bersangkutan. Anggapan lain muncul ketika tidak hanya satu atau dua bibit yang hilang, namun setengah lebih dari jumlah total bibit yang ditanam telah hilang. Bibit yang ditanam dicabut oleh warga setelah acara penanaman dilakukan. Hal ini dilakukan warga karena bibit yang ditanam menghalangi aktivitas mereka dalam bekerja (biasanya berladang / sawah). Posisi lubang tanam bibit berada pada lahan garapan warga, jelas warga tidak terima. “kalau di situ aka nada pohon, saya gak bisa garap tanah dong, kalau saya gak garap tanah, mau makan apa saya dan keluarga nanti?” itulah cuplikan perkataan salah seorang warga.
Melihat kondisi tersebut, terlintas pertanyaan di benak saya. Sebenarnya hutan itu penting atau tidak sih ? Kalau jawabannya adalah penting, siapa manusia yang menganggap penting itu? Jangan-jangan hanya mahasiswa kehutanan saja yang berpendapat demikian. Sempat suatu ketika saya berbincang santai dengan teman (read : Latif) dan disitu sempat ada percakapan yang membuat saya tersadar. “Memerhatikan ekologi (lingkungan) tanpa mempertimbangkan ekonomi, sama saja dengan omong kosong”. It’s true. Mungkin salah satu penyebab gagalnya program GERHAN (Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan) oleh pemerintah beberapa tahun lalu adalah hanya memikirkan bagaimana caranya agar lahan ataupun hutan yang kritis menjadi hijau kembali. Tanpa berpikir masyarakat sekitar hutan yang sebelumnya telah bergantung pada lahan yang akan di reboisasi. Jelas tidak ada sinkronisasi antara pemerintah dengan masyarakat.
Mungkin hanya orang-orang tertentu saja yang menganggap hutan itu penting. Seperti yang telah saya ungkap di atas, ternyata masyarakat lebih memikirkan bagaimana perutnya terisi daripada pusing memikirkan perubahan iklim. Cuek malahan yang terlihat. Masa bodoh dengan masalah lingkungan yang kini sudah sangat terasa dampaknya. Padahal jika dipikirkan dengan logika, hutan memiliki fungsi yang tidak tergantikan oleh ekosistem lain, walau itu pertanian. Mari kita urai satu per satu mulai dari aspek ekologi hingga ekonomi.

Ekologi.
Hutan merupakan sumber udara segar serta penyaring air terbaik. Pohon yang ada di hutan melakukan fotosintesis yang menyerap karbon (CO2) dan mengeluarkan oksigen (O2). Walaupun juga dalam transpirasinya pohon mengeluarkan karbondioksida sebagai output. Namun jumlahnya pasti lebih kecil daripada karbondioksida yang diserap (dalam kasus pohon muda hingga dewasa, pohon tua berbeda). Hutan sebagai penyedia air yang segar untuk makhluk hidup lain. Tidak salah jika ada sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa “forest is the mother of the sea”. Air hujan yang mengguyur akan ditangkap oleh akar-akar tanaman dan diresapkan melalui pori tanah yang terbentuk sehingga akan mengurangi erosi dan banjir. Tanah hutan juga merupakan tanah tersubur yang pernah ada (hutan tropis). Serasah-serasah pohon dan bagian tubuh tumbuhan bawah terdekomposisi dengan sempurna oleh mikroba-mikroba yang ada dalam tanah sehingga menjadi hara dan nutrisi yang dibutuhkan oleh tanaman. Banyak kasus bencana alam yang terjadi karena perambahan hutan yang semestinya tidak boleh dilakukan. Contohnya adalah longsor yang kerap terjadi di daerah perbukitan. Hal tersebut tidak mungkin terjadi jika hutan di atasnya masih bagus.

Ekonomi.
Saat ini yang dilihat masyarakat modern dari hutan adalah kayu. Namun ada produk hutan yang nilai ekonominya melebihi produk kayu. Hasil hutan bukan kayu. Contohnya ialah madu hutan yang kini banyak dipakai oleh balai pengobatan untuk obat alami. Tumbuhan lain yang tak kalah mahal adalah anggrek. Sangat banyak spesies anggrek yang bisa ditemukan di hutan alam Indonesia. Namun sampai sekarang pandangan masyarakat masih mengacu pada kayunya. Hal itu bisa dilihat semakin banyaknya Hutan Tanaman Industri serta Hutan Rakyat dan Hutan Tanaman Rakyat yang dibangun. Jenis yang ditanam sudah pasti jenis yang cepat tumbuh. Tapi secepat-cepatnya pohon tumbuh juga masih harus menunggu minimal 5 tahun untuk memanen. Memang itu yang membuat bisnis kehutanan kurang diminati jika disbanding dengan pertanian yang 1 bulan bisa panen.
Permasalahan ekonomi itu bisa diatasi dengan adanya system agroforestri. Yaitu kolaborasi antara tanaman pokok (kehutanan / pohon) dengan tanaman pertanian yang berumur pendek. Sehingga dalam waktu menunggu panennya tanaman pokok selama 5 tahun, masyarakat bisa mendapat pemasukan dari hasil pertanian yang ditanam.

So, apakah masih ada yang menganggap hutan itu tidak penting?

Senin, 05 Desember 2011

Tentang Sebuah Tanggung Jawab


Setiap orang pasti memiliki tanggung jawab. Entah kecil atau besar. Mulai dari anak-anak, kita sudah diajari oleh guru untuk tanggung jawab atas semua yang kita lakukan. Saya masih ingat ketika guru TK saya mengajarkan untuk membuang sampah pada tempatnya. "Biar nggak banjir", kata ibu guruku. Baru kemarin saya teringat lagi betapa pentingnya hal itu setelah melihat banyaknya bencana banjir dimana-mana disamping akibat penebangan hutan besar-besaran. Mungkin itu adalah sebuah tanggung jawab yang sangat kecil kalau dibanding dengan beban tanggung jawab untuk mengurus keluarga. Tapi saya yakin, kita harus memulai sesuatu dari yang kecil. "Biar nggak kaget nantinya". Bukan berarti orang-orang yang "tidak peduli" terhadap sampah ini tidak pernah mendapat pendidikan TK, namun kemungkinan besar adalah mereka tidak pernah berlatih untuk 100% bertanggung jawab atas hal-hal yang kecil. Tiba-tiba mendapat beban tanggung jawab yang besar, jelas kaget yang didapat dan tanpa pengalaman.
Sebagai contoh saja misalkan seorang sarjana kehutanan yang diberi mandat tanggung jawab untuk menjaga keutuhan hutan Indonesia. Semasa kuliah hanya diajarkan teori untuk menjaga hutan dengan luasan yang luar biasa. Mendapat pengetahuan tentang betapa pentingnya hutan itu hingga bagaimana cara menanam pohon. Namun apa yang terjadi di lapangan, memang sangat hebat dalam kegiatan menanam. Tapi tanggung jawab itu belum 100% jika pohon yang ditanam tidak dipastikan hidup, dengan kata lain tanpa ada kegiatan pemeliharaan dan pemantauan. Hal itu dianggap lebih kecil nilai tanggung jawabnya ketimbang menanam pohon yang dianggap sudah menambah pohon hidup. Serta dalam keseharian seorang calon sarjana kehutanan yang setiap hari menggembar-gemborkan peduli lingkungan namun ternyata tetap membuang sampah sembarangan. Bukankah itu suatu kontradiksi? Percuma cuma berkoar-koar namun dalam aksinya adalah nol besar.
Sama seperti seorang aktivis yang taunya hanya menuntut. Saya yakin ketika dia berada pada posisi orang yang sekarang dia tuntut, dia juga pasti kelabakan. Penyebabnya ya itu, tidak pernah mengemban tanggung jawab yang kecil. Menganggap remeh sesuatu yang kurang terlihat. Namun ketika sesuatu yang kecil itu menjadi banyak, baru terlihat dampaknya. Banjir, korupsi, kekerasan antar RAS, SUKU, AGAMA, serta antar golongan.
Jadi mulai dari sekarang mari kita belajar untuk mengemban tanggung jawab yang kecil dalam diri kita dan lingkungan kecil kita.

Selasa, 15 November 2011

Bahagia dengan membuang sampah (pada tempatnya)


Apa yang sebenarnya dicari oleh manusia di dunia ini? Kebahagiaan pastinya. Rasa bahagia akan muncul ketika tidak adanya lagi rasa takut akan sesuatu. Berarti warga Jakarta tidak bahagia dong…. sepertinya iya. Karena setiap tahun masyarakat Jakarta merasa was-was karena menunggu air Ciliwung yang menjadi langganan tahunan untuk bertamu ke rumah mereka. Banjir. Namun sepertinya mereka tidak pernah belajar. Mereka menganggap kalau banjir itu kiriman dari Bogor. Padahal kalau dipikir-pikir banjir yang melanda kawasan ibukota itu merupakan pesanan warga Jakarta. Kok gitu? Seharusnya kawasan Bogor (Puncak) itu menjadi kawasan hutan yang menjaga debit air yang menuju sungai. Namun jika dilihat sekarang ini, bukan pohon-pohon yang bertambah, tapi tembok-tembok beton yang semakin bertambah untuk vila mewah, “punya orang kaya Jakarta” jawab seseorang yang sempat saya tanya tentang kepemilikan sebuah vila di sana. Setiap weekend bisa dipastikan jalan menuju puncak, padat sampai macet dan kebanyakan kendaraan ber-plat nomor B. Sungguh miris ketika melihat hal ini terjadi, ada ancaman yang selalu mengintai mereka, namun tidak ada antisipasi menuju kesana ketika ancaman itu belum datang.
Selain menyempitnya kawasan resapan air berupa hijauan, juga kesadaran masyarakat akan sampah juga sangat minim. Untuk apa pemerintah mengeluarkan biaya untuk membuat tong-tong sampah di pinggir jalan jika masyarakat memilih untuk membuang sampahnya di sungai-sungai sekitar? Bukan pemerintah lagi yang disalahkan, namun dimana kesadaran masyarakat itu sendiri untuk membuang sampah pada tempatnya??? Padahal anak TK pun tahu kalau membuang sampah di sungai bisa mengakibatkan banjir. Apa pendidikan mereka?? Sekarang sudah semakin jelas banjir yang terjadi bukan hanya di wilayah ibukota, Bandung pun sudah mulai menjadi sarang banjir. Ujung-ujungnya menyalahkan pemerintah pas banjir sudah datang. Katanya pemerintah kurang tanggap, pemerintah gagal, dan macam-macam lah kambing hitamnya. Kemana sih pikiran mereka?? Yang dicari uang uang dan uang. Sekarang bisa dilihat saluran-saluran air yang selalu macet ketika dialiri air.
Tentunya masih ada harapan untuk memperbaiki kerusakan lingkungan di sekitar kita. Kalaupun pekarangan kita sudah tidak bertanah lagi karena paving, yah minimal buang sampah di tempatnya lah. Jangan berpikir “halah sampah kecil saja kok, sebentar juga ilang ikut arus..”, kalau Cuma anda yang berpikir seperti itu, it’s OK. Tapi kalau 1 juta penduduk Indonesia berpikiran sama seperti anda, apa yang terjadi? Ya seperti sekarang ini lah. Mulai dari diri sendiri untuk memberi contoh kepada orang lain. Toh hasilnya juga kita sendiri yang menikmati. Keep fight