Senin, 27 Desember 2010

Pendapatan seorang tukang parkir = Gaji Guru SD




Maraknya tukang parkir (selanjutnya saya sebut TP) di Bara* kini sudah tak asing lagi bagi para mahasiswa. Bukan menjadikan perasaan menjadi tenang karena kendaraan kita aman oleh nya, tapi perasaan geram lah yang malah muncul. Bagaimana tidak, belum sampai kendaraan diparkir 1 menit, sudah ditarik uang. Berbekal kardus bekas yang dirobek menjadi beberapa bagian, Sang TP mulai mencari ladang uangnya. Jika ada motor yang baru ditinggal, Sang TP mulai datang dan meletakkan sobekan kardus itu di atas jok motor. Dengan begitu, motor sah menjadi ladang uangnya. Saat si pemilik motor selesai dengan urusannya dan hendak mengambil motornya, TP meniupkan peluit, dan uangpun pindah tangan. Tidak masalah jika TP benar-benar menerapkan perannya sebagai penyedia jasa parkir yang menawarkan keamanan, namun berbeda fakta. Setelah motor dijadikan ladang uang olehnya, Sang TP hanya nongkrong sambil merokok dan bercanda dengan sesama TP yang lain. Sungguh menuai gaji buta. Memang keberadaan TP ini membuat kita berfikir bahwa apa bedanya TP ini dengan seorang pengemis? Malah masih mulia seorang pengemis menurut saya, karena seorang pengemis jujur kalu dia ini sedang mengemis, tapi TP ini berbohong. Mengemis dengan dibalut pekerjaan Tukang Parkir.

Mari kita sedikit iseng untuk mengkalkulasi pendapatan seorang TP per bulan. Bayaran per motor 500 rupiah dan 1000 rupiah. Jika TP bertempat di sebuah mini market yang buka hingga jam 10.00 malam, dan kira-kira ada 100 motor per hari. Maka 500 rupiah (saya mengambil uang minimum yang diberikan oleh sang empunya motor) x 100 motor = 50.000 rupiah per hari. Jika 1 bulan ada 30 hari, maka 50.000 x 30 = 1.500.000 rupiah. Sangat mengejutkan. Gaji TP = Guru SD. Itu masih minimum uang yang saya contohkan, belum jika per orang memberi uang 1000 rupiah. Bisa jadi 3.000.000 per bulan. Hampir melebihi gaji seorang dosen IPB. Bukannya keberatan kalau kita memberi sedikit rezeki pada mereka, toh hanya 1000 rupiah per hari. Bukan per hari hitungannya kawan. Lebih tepat 1000 rupiah per parker, dan dalam sehari pasti lebih dari 1 kali mengunjungi bara dan memarkir motor.

Apakah pantas kita memberi uang pada seseorang yang bermalasan? Justru kita membiarkan mereka menuju kehancuran. Bagaimana hidup mereka di masa yang akan datang? Bagaimana nasib istri dan anaknya? Pasti panjang jika saya mengulasnya di sini, pasti para pembaca mempunyai pikiran yang sama dengan saya.

*Bara adalah pusat kehidupan mahasiswa IPB Dramaga di luar perkuliahan. Segala kebutuhan hidup tersedia di sini.

Minggu, 26 Desember 2010

Sampah Organik-Anorganik, perlukah dipisahkan tempat sampahnya?



Salah satu gerakan pemerintah untuk mengurangi pencemaran lingkungan adalah dengan pengadaan tempat sampah besar-besaran. Banyak dijumpai tempat sampah bertuliskan “organic” berdampingan dengan “an-organic”. Namun bila ditinjau ulang, apakah perlu kita susah-susah memisahkan antara sampah organic dengan an-organic? Sebenarnya tidak perlu ada pemisahan jenis sampah. Toh pada akhirnya, saat petugas kebersihan mengambil sampah yang ada, mereka juga menampungnya ke dalam truk sampah yang sama.

Tidak ada lagi perbedaan organic dan an-organik. Jika pun truk sampah juga dibedakan, tempat penampungan sampah pun juga akan menjadi percampuran lagi. Terus apa gunanya kita selama ini sibuk mencari dan memisahkan sampah??

Pemerintah Jawa Timur harus meninjau ulang peraturan tentang pembuangan limbah industry.


Sungguh miris sekali. Kemarin, tepatnya 25 Desember 2010, saya melihat berita di salah satu siaran televisi. Headline nya adalah pencemaran air sungai brantas akibat pembuangan limbah oleh sebagian besar industry di Jawa Timur. Saya sebagai orang Jawa Timur (Kediri tepatnya) sangat terpukul melihat berita ini. Rupanya wabah penyakit dari kota-kota besar di Indonesia telah menular ke daerah. Seperti penyakit manusia-manusia Jakarta yang sudah acuh dengan lingkungannya. Dapat dilihat dari pola hidup sehari-hari yang membudayakan buang sampah sembarangan, tebang pohon seenaknya, penggunaan Air Conditioner yang tanpa batas, dan yang paling kacau adalah industry-industri yang tidak memenuhi peraturan pemerintah lagi.

Sedikit bercermin dari kegiatan kota Jakarta saat ini. Banjir ada dimana-mana, turunnya permukaan tanah di beberapa daerah, krisis air bersih, serta suhu yang semakin meninggi. Apakah kita semua mau Jawa Timur menjadi daerah seperti layaknya Jakarta yang menawarkan kenikmatan dunia semu? Pasti kita semua menjawab “tidak”. Jika sungai Brantas tercemar, maka kata-kata tidak itu haru ditindak lanjuti dengan suatu tindakan “tidak”.

Pemerintah sepertinya menjadi kambing hitam lagi akan kasus ini. Betapa tidak, betapa banyak peraturan pemerintah Jawa Timur yang mengatur tentang kelayakan ekologi, pun juga sanksi-sanksi yang ditawarkan untuk semua pelanggar, namun aksi dari pemerintah sendiri kelihatannya kurang. Ataukah mungkin pemerintah daerah lah yang menjadi dalang dibalik semua ini? Dengan beberapa gepok uang yang dihadiahkan oleh industry untuk pemerintah bisa saja menjadi angin segar untuk mengenyampingkan ekologi. Dalam hal ini, masyarakat walupun turut andil untuk kembali melestarikan lingkungan, sepertinya masalah ini tidak akan selesai. Contohnya, masyarakat sekitar pencemaran limbah selalu membersihkan aliran sungai namun industry terus menerus membuang limbahnya. Sungguh tidak imbang jika dibandingkan. Satu-satunya penolong hanyalah aksi dari pemerintah.

Sekarang sudah terlihat dampak dari pencemaran sungai di Jawa timur. Masyarakat sekitar daerah industry sudah mulai merasakan efek berupa menurunnya kesehatan. Banyaknya wabah demam berdarah, muntaber, serta masih banyak lagi efek-efek yang menanti untuk hinggap kepada masyarakat kita.

Dengan tulisan saya ini, saya berharap pemerintah jawa Timur, khususnya Gubernur Sukarwo membaca tulisan saya dan segera merealisasikan janjinya untuk membangun Jawa Timur kita semua.